Selasa, 02 Juni 2015

Zero dan Hana



 “Zero, bisa kamu selesaikan soal ini di depan?” 

Suara Bu Ana membuatku terkejut. Tidak! Aku tidak bisa kalau dia belum datang.

“Zero….. Ayo!” Bu Ana mengerutkan kening saat melihatku tak bergeming. Dapat aku dengar kasak-kusuk di belakangku. Lebih tepatnya mentertawakanku. Seperti biasanya.

Tok Tok

“Maaf, Bu, saya terlambat.” Seorang gadis berambut sebahu dengan nafas terengah berdiri di ambang pintu. Aku bernafas lega saat melihat penyelamatku datang.

“Tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja, Hana?” Hana mengangguk. Tadi memang dia memberitahuku bahwa mobilnya terlibat kecelakaan kecil akibat ada pengendara yang tiba-tiba menyelip. Bagaimana detailnya akan aku tanyakan padanya nanti.

“Zero.. Kenapa kamu masih duduk?”
Hana berjalan lalu duduk. Seakan tahu situasi darurat yang sedang terjadi, dia tersenyum seraya mengusap kepalaku. 

Aku mengangguk dan bangkit. Gugupku hilang. Sikap kecil Hana memang mantraku.

                                    *********************************************

Namaku Zero. Seperti artinya, aku juga nol. Lebih tepatnya, tubuhku yang seperti angka nol. Gendut. Tapi, tidak dengan isi kepalaku. Dua tahun berturut-turut aku bertengger menjadi juara bertahan. Sayangnya, meskipun pintar, tidak ada yang ingin berteman denganku. Untunglah, kelas sebelas lalu aku dipertemukan dengan Hana. Gadis berkulit putih pucat pindahan dari Bandung. Tidak sepertiku, Hana seketika menjadi madu yang dikelilingi para lebah. Kecerdasan dan kecantikannya lah yang menjadi incaran. Hampir semua murid di kelasku berlomba mendekati dan ingin berteman dengannya. Tapi, aku tak menyangka jika dia memilih untuk duduk di sampingku. Berdekatan denganku. Tak sedikit murid yang mencibir kebersamaan kami. Tapi Hana tak peduli. Sampai detik ini dia tetap pada pendiriannya menjadi temanku.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku memiliki serangan gugup yang luar biasa jika disuruh untuk ke depan kelas. Entah itu mengerjakan soal atau persentasi. Mungkin ini akibat dari celaan teman-teman di sekolahku. Tubuhku yang gemuk menghisap rasa percaya diriku. Untuk mengurangi rasa gugupku, mama memberiku hiasan emoticon smile berbentuk bulat, empuk seperti bantal, tapi besarnya hanya satu kepalan tanganku. Mantra itu ampuh sampai dua tahun lalu aku kehilangan jimatku. Dan Hana lah yang kemudian menjadi dewi penyelamatku. Usapan tangannya di kepalaku ternyata sama ampuhnya dengan jimatku. Ajaib, bukan? 

“Empat bulan lagi kita akan lulus. Apa jadinya aku tanpa kamu, Han?” Dia tertawa. Kedua matanya menghilang dan membentuk bulan sabit terbalik. Cantik sekali. Andai saja tubuhku tidak gemuk, aku sudah memintanya menjadi pacarku. Aku menyayanginya. Tapi aku tahu jika dia berhak mendapatkan yang lebih baik dariku.

“Kenapa kamu menjadi mellow, Ze?” Dia meletakkan dua gelas air putih di atas meja. “Kamu akan baik-baik saja.” Dia duduk dan menarik buku tugasnya. Saat ini kami memang tengah belajar di rumahnya untuk mempersiapkan ujian sekolah nanti.

“Selama ini kamu selalu ada buat aku. Aku merasa bersalah karena waktumu lebih sering denganku. Kamu tidak berpacaran karena berteman denganku.”

“Hussstttt!!! Kamu ingat, kan? Aku yang memutuskan untuk dekat denganmu. Jadi diamlah atau jatah makan siangmu aku cabut.                 
 
                                    ****************************************** 

Waktu berjalan cepat tanpa aku sadari. Ujian sekolah sudah aku lewati dan besok adalah hari perayaan kelulusan di sekolahku. Terbesit rasa sedih saat kuingat bahwa aku dan Hana tidak lama lagi akan benar-benar berpisah. Dia mendapat beasiswa di salah satu universitas di London.

“Aku punya hadiah buat kamu.” Suara Hana mengembalikan lamunanku. Dia mengeluarkan kotak dari dalam tas nya. “Buka.”

Mataku terbelalak saat melihat isi hadiah Hana. Hiasan pemberian ibuku! Aku yakin ini milikku karena ada bekas jahitan di bawah matanya. 

“Itu memang milikmu. Aku menemukannya di pinggir jalan dua setengah tahun lalu. Apa kamu ingat pernah menyelamatkan gadis bertopi baseball yang akan dijambret? Itu aku, Ze.” 

Ingatanku menerawang. Aku memang pernah menolong gadis yang tas nya tengah direbut oleh dua laki-laki berwajah garang. Tanpa pikir panjang aku berteriak dan memukul mereka dengan tas sekolahku. Singkatnya pertolongan datang dan aku pun pulang. Aku sama sekali tidak menyangka jika gadis itu adalah Hana.

“Kenapa kamu tetap menyimpannya?” 

“Aku sengaja.” Hana terdiam sesaat. “Aku senang bisa berhasil menemukanmu. Aku merengek pada Ayah agar masuk di sekolah yang sama dengan seragam yang kamu kenakan dulu. Gila, bukan? Aku jatuh cinta padamu sejak dua setengah tahun lalu, Ze. Aku takut jika hiasan itu aku kembalikan, kamu tidak membutuhkan mantraku lagi.” 

Aku terkesiap. Hana mencintaiku?? Sebelum aku sempat membuka suara, Hana kembali mengejutkanku. 

“Kamu mau jadi pacarku?”

Aku menggeleng. “Salah, Han. Harusnya aku yang memintamu. Bukan sebaliknya.”

Dia terkekeh. “Kamu lambat, Ze. Aku tahu perasaanmu, tapi aku sudah bosan menunggu. Sebelum kita berpisah, bolehkah aku meminta agar hubungan kita jelas?”

Aku menatap kedua mata onyx nya. Merasa sangat bersyukur karena ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku memajukan posisi dudukku dan menggenggam kedua tangannya. “Han, maukah kamu jadi pacar si gendut ini?” 

Hana tertawa sembari menganggukkan kepala. Aku berdiri lalu memeluknya. “Terima kasih, Hana. Jarak dan waktu tak kan berarti. Karena kau akan selalu di hati. Bagai detak jantung yang kubawa kemana pun ku pergi.”

“Tidak romantis. Itu penggalan lirik lagu, Ze!” Hana memukul punggungku lalu melepaskan pelukan kami.
Aku tertawa dan mengacak rambutnya. “Aku sayang kamu, Hana.”