“Zero, bisa kamu selesaikan soal ini di
depan?”
Suara
Bu Ana membuatku terkejut. Tidak! Aku tidak bisa kalau dia belum datang.
“Zero…..
Ayo!” Bu Ana mengerutkan kening saat melihatku tak bergeming. Dapat aku dengar
kasak-kusuk di belakangku. Lebih tepatnya mentertawakanku. Seperti biasanya.
Tok Tok
“Maaf,
Bu, saya terlambat.” Seorang gadis berambut sebahu dengan nafas terengah
berdiri di ambang pintu. Aku bernafas lega saat melihat penyelamatku datang.
“Tidak
apa-apa. Kamu baik-baik saja, Hana?” Hana mengangguk. Tadi memang dia
memberitahuku bahwa mobilnya terlibat kecelakaan kecil akibat ada pengendara
yang tiba-tiba menyelip. Bagaimana detailnya akan aku tanyakan padanya nanti.
“Zero..
Kenapa kamu masih duduk?”
Hana
berjalan lalu duduk. Seakan tahu situasi darurat yang sedang terjadi, dia
tersenyum seraya mengusap kepalaku.
Aku
mengangguk dan bangkit. Gugupku hilang. Sikap kecil Hana memang mantraku.
*********************************************
Namaku
Zero. Seperti artinya, aku juga nol. Lebih tepatnya, tubuhku yang seperti angka
nol. Gendut. Tapi, tidak dengan isi kepalaku. Dua tahun berturut-turut aku bertengger
menjadi juara bertahan. Sayangnya, meskipun pintar, tidak ada yang ingin
berteman denganku. Untunglah, kelas sebelas lalu aku dipertemukan dengan Hana.
Gadis berkulit putih pucat pindahan dari Bandung. Tidak sepertiku, Hana
seketika menjadi madu yang dikelilingi para lebah. Kecerdasan dan kecantikannya
lah yang menjadi incaran. Hampir semua murid di kelasku berlomba mendekati dan
ingin berteman dengannya. Tapi, aku tak menyangka jika dia memilih untuk duduk
di sampingku. Berdekatan denganku. Tak sedikit murid yang mencibir kebersamaan
kami. Tapi Hana tak peduli. Sampai detik ini dia tetap pada pendiriannya
menjadi temanku.
Sejak
duduk di bangku sekolah dasar, aku memiliki serangan gugup yang luar biasa jika
disuruh untuk ke depan kelas. Entah itu mengerjakan soal atau persentasi.
Mungkin ini akibat dari celaan teman-teman di sekolahku. Tubuhku yang gemuk
menghisap rasa percaya diriku. Untuk mengurangi rasa gugupku, mama memberiku
hiasan emoticon smile berbentuk bulat, empuk seperti bantal, tapi besarnya
hanya satu kepalan tanganku. Mantra itu ampuh sampai dua tahun lalu aku
kehilangan jimatku. Dan Hana lah yang kemudian menjadi dewi penyelamatku.
Usapan tangannya di kepalaku ternyata sama ampuhnya dengan jimatku. Ajaib,
bukan?
“Empat
bulan lagi kita akan lulus. Apa jadinya aku tanpa kamu, Han?” Dia tertawa.
Kedua matanya menghilang dan membentuk bulan sabit terbalik. Cantik sekali.
Andai saja tubuhku tidak gemuk, aku sudah memintanya menjadi pacarku. Aku
menyayanginya. Tapi aku tahu jika dia berhak mendapatkan yang lebih baik
dariku.
“Kenapa
kamu menjadi mellow, Ze?” Dia meletakkan dua gelas air putih di atas meja.
“Kamu akan baik-baik saja.” Dia duduk dan menarik buku tugasnya. Saat ini kami
memang tengah belajar di rumahnya untuk mempersiapkan ujian sekolah nanti.
“Selama
ini kamu selalu ada buat aku. Aku merasa bersalah karena waktumu lebih sering
denganku. Kamu tidak berpacaran karena berteman denganku.”
“Hussstttt!!!
Kamu ingat, kan? Aku yang memutuskan untuk dekat denganmu. Jadi diamlah atau
jatah makan siangmu aku cabut.
******************************************
Waktu
berjalan cepat tanpa aku sadari. Ujian sekolah sudah aku lewati dan besok
adalah hari perayaan kelulusan di sekolahku. Terbesit rasa sedih saat kuingat
bahwa aku dan Hana tidak lama lagi akan benar-benar berpisah. Dia mendapat
beasiswa di salah satu universitas di London.
“Aku
punya hadiah buat kamu.” Suara Hana mengembalikan lamunanku. Dia mengeluarkan
kotak dari dalam tas nya. “Buka.”
Mataku
terbelalak saat melihat isi hadiah Hana. Hiasan pemberian ibuku! Aku yakin ini
milikku karena ada bekas jahitan di bawah matanya.
“Itu
memang milikmu. Aku menemukannya di pinggir jalan dua setengah tahun lalu. Apa
kamu ingat pernah menyelamatkan gadis bertopi baseball yang akan dijambret? Itu
aku, Ze.”
Ingatanku
menerawang. Aku memang pernah menolong gadis yang tas nya tengah direbut oleh
dua laki-laki berwajah garang. Tanpa pikir panjang aku berteriak dan memukul
mereka dengan tas sekolahku. Singkatnya pertolongan datang dan aku pun pulang.
Aku sama sekali tidak menyangka jika gadis itu adalah Hana.
“Kenapa
kamu tetap menyimpannya?”
“Aku
sengaja.” Hana terdiam sesaat. “Aku senang bisa berhasil menemukanmu. Aku
merengek pada Ayah agar masuk di sekolah yang sama dengan seragam yang kamu
kenakan dulu. Gila, bukan? Aku jatuh cinta padamu sejak dua setengah tahun
lalu, Ze. Aku takut jika hiasan itu aku kembalikan, kamu tidak membutuhkan
mantraku lagi.”
Aku
terkesiap. Hana mencintaiku?? Sebelum aku sempat membuka suara, Hana kembali
mengejutkanku.
“Kamu mau jadi pacarku?”
Aku
menggeleng. “Salah, Han. Harusnya aku yang memintamu. Bukan sebaliknya.”
Dia
terkekeh. “Kamu lambat, Ze. Aku tahu perasaanmu, tapi aku sudah bosan menunggu.
Sebelum kita berpisah, bolehkah aku meminta agar hubungan kita jelas?”
Aku
menatap kedua mata onyx nya. Merasa sangat bersyukur karena ternyata cintaku
tidak bertepuk sebelah tangan. Aku memajukan posisi dudukku dan menggenggam
kedua tangannya. “Han, maukah kamu jadi pacar si gendut ini?”
Hana
tertawa sembari menganggukkan kepala. Aku berdiri lalu memeluknya. “Terima
kasih, Hana. Jarak dan waktu tak kan berarti. Karena kau akan selalu di hati.
Bagai detak jantung yang kubawa kemana pun ku pergi.”
“Tidak
romantis. Itu penggalan lirik lagu, Ze!” Hana memukul punggungku lalu
melepaskan pelukan kami.
Aku
tertawa dan mengacak rambutnya. “Aku sayang kamu, Hana.”