Rabu, 05 Agustus 2015

Dear, You.

Aku tak pernah menyangka jika 'mencintamu' akan sesulit ini.
Langkahku selalu berat. Nafasku sesak. Hatiku remuk.
Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar karenamu. 
Tak bisa aku hitung berapa malam aku lalui hanya untuk memikirkan keadaanmu. 
Dan, entah sudah berapa kali aku berpikir untuk mundur.

Aku hanya ingin kau tahu. Bahwa aku tak pernah sedikit pun menyesal telah jatuh cinta padamu.
Aku memilihmu tanpa alasan. Kau. Dengan menjadi engkau sendiri telah cukup untuk cinta.
Inginnya, aku pun seperti yang lain. Dapat terus tersenyum, melangkah dengan ringan ketika mencintai seseorang.
Tapi, bukankah cinta itu tidak selalu memiliki rasa manis?
Setidaknya untukku. Seringnya, rasa pahit yang aku kecap.
Apa aku pernah lelah? Jawabannya, Ya.
Namun kembali lagi. Hati tak bisa aku atur, meski akulah sang pengatur.

Sejak awal, hanya kau yang mampu memenuhi tiap sudut hatiku.
Kau adalah sumber kesakitanku juga penyembuhku.
Melihat kau tertawa adalah bahagiaku.
Melihat tangisanmu adalah deritaku.

Sepanjang perjalananku sampai detik ini, tak ku pungkiri bahwa terkadang aku ingin berhenti.
Aku ingin melepasmu. Aku ingin menjauh darimu.
Tapi ternyata aku kalah. 
Aku tak sanggup bila harus 'hidup' tanpa kehadiranmu.

Aku mungkin tak bisa merengkuh saat dingin menyapa lelap tidurmu.
Tak bisa menepuk pundakmu ketika sedih menyelimutimu.
Dan, tak bisa juga menghilangkan luka yang terlanjur menjadi goresan di jiwamu.

Namun, kau harus ingat, bahwa aku selalu mencintaimu.
Melindungimu dengan jalanku sendiri.
Aku akan selalu berada di posisi yang sama.
Tak peduli meski hantaman kian keras kurasakan.


Aku mencintamu tanpa batas dan tak bersyarat.
Aku hanya ingin kau bahagia.
Menjalani waktu yang tersisa dengan senyum tanpa beban.

I Love You. I'll always love you. 


Sabtu, 04 Juli 2015

Gagas Media - Terus Bergegas


Setelah kemarin ikut berpartisipasi dalam kompetisi menulis berantai, kali ini aku hadir untuk memeriahkan Gagas yang tengah bertambah usia.... *tepuk tangan*

Happy Birthday, Gagas..... Silakan disimak jawabanku, ya....


                                                   

1. a. Sunshine Becomes You - Ilana Tan
    b. Let Go - Windhy Puspitadewi
    c. The Truth About Forever - Orizuka
    d. Para Priyayi - Umar Kayam
    e. Jalan Menikung - Umar Kayam
    f.  Eclair - Prisca Primasari
    g. Tears In Heaven - Angelia Caroline
    h. Morning Light - Windhy Puspitadewi
    i.  Johan Series - Lexie Xu
    j.  Rain Affair - Clara Cancerina
    k..Touche - Windhy Puspitadewi
    l.. Trilogi D'Angel - Luna Torashyngu

2.                                                    

Ending yang disuguhkan menjadi akhir yang sempurna. Meski memang tidak berakhir bahagia, namun sangat pas untuk membuat remuk ketika membacanya.

                                                       
           
 Kepergian Nathan setelah dia mendapatkan arti hidupnya kembali lewat pertemanan dia dengan Raka, membuatku sadar bahwa hidup kadang tak selalu memberi apa yang kita inginkan. Nathan ingin hidup, namun ajal menjemputnya. Akhir yang perih tapi penuh dengan makna.

3.  " Jangan pernah hanya dengan melihat, kamu menilai siapa yang lebih menderita dan siapa yang   lebih bahagia. " ( Morning Light - hal. 139 ) Ucapan itu membuatku sadar bahwa ketika menilai seseorang jangan hanya dengan melihat. Tapi harus menyentuh sisi dalamnya. Jangan menyimpulkan sendiri.
       
4. Julian di Morning Light. Dia jarang berbicara tapi sangat perhatian. Membuat aku 'jatuh hati' karena sosok yang dicintai oleh dia akan merasa terlindungi.

5. Kembali harus aku tulis Let Go dan Sunshine Becomes You. Keduanya menyuguhkan sad ending dari kehilangan seseorang. Dari kedua novel tersebut, aku belajar tentang makna kehidupan. Kematian Nathan juga kematian Mia, mengajarkan aku bahwa dalam hidup ada hal-hal yang tidak dapat kita raih. Dua tokoh itu berjuang melawan penyakit. Mereka ingin tetap bertahan namun ketetapan berkata lain. Dari sana pula aku belajar bahwa tak semua harapan bisa menjadi nyata.

6. Let Go. Aku tertarik dengan cerita yang dihadirkan oleh Kak Windhy.

7. Touche. Aku penasaran dengan arti kata 'Touche' dalam novel tersebut. Apa touche itu menyentuh? Atau berkaitan dengan hal yang lain? Setelah membacanya barulah aku mengerti. Touche is France word. Kata kerja untuk menyebut kemampuan menyentuh yang dimiliki oleh para tokohnya.

8.                   

 Permainan Maut - Lexie Xu. Seri ketiga dari tetralogi Johan Series ini menarik perhatianku. Aku suka design dan ilustrasi covernya. Terlebih lagi, tokoh perempuan dalam cover tersebut adalah tokoh favoritku.

9. Romance, thriller, fantasy dan mistery. Karena... ketika membaca genre tersebut, kadang seakan sedang menaiki roller coaster. Bermain dengan emosi juga pikiran.

10. Ilana Tan, Windhy Puspitadewi dan Lexie Xu. Ingin mengetahui seluk beluk tentang alasan mereka bisa membuat cerita - cerita yang begitu 'gila'.

11. Buku cetak. Karena... suka terpesona melihat cover nya, aroma dari kertas di dalamnya aku suka.

12.  Terus bergegas menjadi yang terdepan, terbaik dari masa ke masa. Berjaya selamanya!


Sekali lagi, Happy Birthday, Gagas Media............ ^^

Selasa, 02 Juni 2015

Zero dan Hana



 “Zero, bisa kamu selesaikan soal ini di depan?” 

Suara Bu Ana membuatku terkejut. Tidak! Aku tidak bisa kalau dia belum datang.

“Zero….. Ayo!” Bu Ana mengerutkan kening saat melihatku tak bergeming. Dapat aku dengar kasak-kusuk di belakangku. Lebih tepatnya mentertawakanku. Seperti biasanya.

Tok Tok

“Maaf, Bu, saya terlambat.” Seorang gadis berambut sebahu dengan nafas terengah berdiri di ambang pintu. Aku bernafas lega saat melihat penyelamatku datang.

“Tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja, Hana?” Hana mengangguk. Tadi memang dia memberitahuku bahwa mobilnya terlibat kecelakaan kecil akibat ada pengendara yang tiba-tiba menyelip. Bagaimana detailnya akan aku tanyakan padanya nanti.

“Zero.. Kenapa kamu masih duduk?”
Hana berjalan lalu duduk. Seakan tahu situasi darurat yang sedang terjadi, dia tersenyum seraya mengusap kepalaku. 

Aku mengangguk dan bangkit. Gugupku hilang. Sikap kecil Hana memang mantraku.

                                    *********************************************

Namaku Zero. Seperti artinya, aku juga nol. Lebih tepatnya, tubuhku yang seperti angka nol. Gendut. Tapi, tidak dengan isi kepalaku. Dua tahun berturut-turut aku bertengger menjadi juara bertahan. Sayangnya, meskipun pintar, tidak ada yang ingin berteman denganku. Untunglah, kelas sebelas lalu aku dipertemukan dengan Hana. Gadis berkulit putih pucat pindahan dari Bandung. Tidak sepertiku, Hana seketika menjadi madu yang dikelilingi para lebah. Kecerdasan dan kecantikannya lah yang menjadi incaran. Hampir semua murid di kelasku berlomba mendekati dan ingin berteman dengannya. Tapi, aku tak menyangka jika dia memilih untuk duduk di sampingku. Berdekatan denganku. Tak sedikit murid yang mencibir kebersamaan kami. Tapi Hana tak peduli. Sampai detik ini dia tetap pada pendiriannya menjadi temanku.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku memiliki serangan gugup yang luar biasa jika disuruh untuk ke depan kelas. Entah itu mengerjakan soal atau persentasi. Mungkin ini akibat dari celaan teman-teman di sekolahku. Tubuhku yang gemuk menghisap rasa percaya diriku. Untuk mengurangi rasa gugupku, mama memberiku hiasan emoticon smile berbentuk bulat, empuk seperti bantal, tapi besarnya hanya satu kepalan tanganku. Mantra itu ampuh sampai dua tahun lalu aku kehilangan jimatku. Dan Hana lah yang kemudian menjadi dewi penyelamatku. Usapan tangannya di kepalaku ternyata sama ampuhnya dengan jimatku. Ajaib, bukan? 

“Empat bulan lagi kita akan lulus. Apa jadinya aku tanpa kamu, Han?” Dia tertawa. Kedua matanya menghilang dan membentuk bulan sabit terbalik. Cantik sekali. Andai saja tubuhku tidak gemuk, aku sudah memintanya menjadi pacarku. Aku menyayanginya. Tapi aku tahu jika dia berhak mendapatkan yang lebih baik dariku.

“Kenapa kamu menjadi mellow, Ze?” Dia meletakkan dua gelas air putih di atas meja. “Kamu akan baik-baik saja.” Dia duduk dan menarik buku tugasnya. Saat ini kami memang tengah belajar di rumahnya untuk mempersiapkan ujian sekolah nanti.

“Selama ini kamu selalu ada buat aku. Aku merasa bersalah karena waktumu lebih sering denganku. Kamu tidak berpacaran karena berteman denganku.”

“Hussstttt!!! Kamu ingat, kan? Aku yang memutuskan untuk dekat denganmu. Jadi diamlah atau jatah makan siangmu aku cabut.                 
 
                                    ****************************************** 

Waktu berjalan cepat tanpa aku sadari. Ujian sekolah sudah aku lewati dan besok adalah hari perayaan kelulusan di sekolahku. Terbesit rasa sedih saat kuingat bahwa aku dan Hana tidak lama lagi akan benar-benar berpisah. Dia mendapat beasiswa di salah satu universitas di London.

“Aku punya hadiah buat kamu.” Suara Hana mengembalikan lamunanku. Dia mengeluarkan kotak dari dalam tas nya. “Buka.”

Mataku terbelalak saat melihat isi hadiah Hana. Hiasan pemberian ibuku! Aku yakin ini milikku karena ada bekas jahitan di bawah matanya. 

“Itu memang milikmu. Aku menemukannya di pinggir jalan dua setengah tahun lalu. Apa kamu ingat pernah menyelamatkan gadis bertopi baseball yang akan dijambret? Itu aku, Ze.” 

Ingatanku menerawang. Aku memang pernah menolong gadis yang tas nya tengah direbut oleh dua laki-laki berwajah garang. Tanpa pikir panjang aku berteriak dan memukul mereka dengan tas sekolahku. Singkatnya pertolongan datang dan aku pun pulang. Aku sama sekali tidak menyangka jika gadis itu adalah Hana.

“Kenapa kamu tetap menyimpannya?” 

“Aku sengaja.” Hana terdiam sesaat. “Aku senang bisa berhasil menemukanmu. Aku merengek pada Ayah agar masuk di sekolah yang sama dengan seragam yang kamu kenakan dulu. Gila, bukan? Aku jatuh cinta padamu sejak dua setengah tahun lalu, Ze. Aku takut jika hiasan itu aku kembalikan, kamu tidak membutuhkan mantraku lagi.” 

Aku terkesiap. Hana mencintaiku?? Sebelum aku sempat membuka suara, Hana kembali mengejutkanku. 

“Kamu mau jadi pacarku?”

Aku menggeleng. “Salah, Han. Harusnya aku yang memintamu. Bukan sebaliknya.”

Dia terkekeh. “Kamu lambat, Ze. Aku tahu perasaanmu, tapi aku sudah bosan menunggu. Sebelum kita berpisah, bolehkah aku meminta agar hubungan kita jelas?”

Aku menatap kedua mata onyx nya. Merasa sangat bersyukur karena ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku memajukan posisi dudukku dan menggenggam kedua tangannya. “Han, maukah kamu jadi pacar si gendut ini?” 

Hana tertawa sembari menganggukkan kepala. Aku berdiri lalu memeluknya. “Terima kasih, Hana. Jarak dan waktu tak kan berarti. Karena kau akan selalu di hati. Bagai detak jantung yang kubawa kemana pun ku pergi.”

“Tidak romantis. Itu penggalan lirik lagu, Ze!” Hana memukul punggungku lalu melepaskan pelukan kami.
Aku tertawa dan mengacak rambutnya. “Aku sayang kamu, Hana.”

Sabtu, 23 Mei 2015

The Broken Journey (Part 3)


Lanjutan cerita dari Atik Milawati (@miilarrosa) di blog millarosa.blogspot.com



Kami Ingin Pulang

Aku mendengar teriakan Sekar.

Kulihat, tubuh Mila terhuyung, merosot ke tanah. Untunglah, aku sempat menahan tubuhnya. Hanif menoleh, dan berlari ke arahku. Mengambil alih posisi Sekar untuk ikut menyangga tubuh Mila.

“Mil! Mila! Bangun!” Aku menepuk-nepuk pipinya pelan. Mencoba menyadarkannya. Hanif pun melakukan hal yang sama. Dia memijat pelipis Mila. Sementara, Sekar mengeluarkan minyak kayu putih, dan mendekatkan pada hidung kakaknya.

“Aku menemukan tempat yang cukup layak untuk kita beristirahat. Kita bawa Mila kesana. Mustahil kita bisa melanjutkan perjalanan dengan kondisinya yang seperti ini.” Rama tiba-tiba saja datang dari arah belakangku. Sesaat setelah Mila pingsan, dia memang menghilang dari pandangan kami.

Hanif mengangguk, lalu membopong tubuh Mila. Rama membawakan ransel Mila. Ia menyalakan senter dan berjalan paling depan, beriringan dengan Sekar. Aku memilih berjalan di belakang bersisian dengan Hanif. Sudah cukup aku berperang dengan perasaanku yang tak menentu ketika berada di dekat Rama.

Sungguh ironis, bahwa aku ikut pendakian ini karena ingin melupakan mantan pacarku, Tristan. Dua minggu lalu, hubungan kami harus berakhir karena sikap posesifnya yang tak masuk akal, dan kecemburuannya terhadap Rama. Namun, aku tak menyangka jika perjalanan ini malah membuatku tak nyaman. Berdekatan lagi dengan Rama tak semudah yang kubayangkan. Aku terusik oleh getaran yang dulu pernah kurasakan saat kami masih bersama.

“Hei, kau sudah sadar?” Suara Hanif mengusik lamunanku. Aku menoleh ke arahnya dan bernapas lega saat kulihat Mila membuka matanya.

Andai saja signal bar pada ponsel kami masih menunjukkan eksistensinya, mungkin kami bisa menelepon untuk meminta pertolongan. Aku harap, besok pagi akan ada keajaiban. Kami bisa keluar dari hutan ini dan menemukan jalur turun ke pos terdekat.

Satu jam kemudian, kami berempat duduk di dekat api unggun. Hari sudah beranjak gelap. Mila tidur di dalam tenda, setelah sebelumnya kami semua mengganjal perut dengan sebungkus biskuit yang kubagikan. Bagian Mila dan Sekar aku lebihkan dari bagianku. Aku masih bisa menahan lapar. Kondisi merekalah yang aku khawatirkan. Dua batang cokelat yang tersisa sengaja kusimpan untuk sarapan besok pagi.

“Persediaan air kita masih ada, tapi aku akan mencari mata air besok pagi. Siapa tahu aku bisa sekaligus mencari bantuan.” Rama merekatkan jaketnya. Udara memang semakin menusuk tulang.

“Jangan pergi kemana-mana, Rama! Kita tunggu kondisi Mila sedikit membaik, lalu pergi bersama,” larang Hanif.

“Tapi, kita…”

“Rama..” potongku. Aku lelah mendengar perdebatan mereka. “Tolong dengarkan Kak Hanif. Tolong. Aku mohon.”

Rama menatapku lekat-lekat. Senyum jahil muncul di wajahnya. Aku tahu, ini yang dia inginkan. Mendapat perhatian dariku. Di perjalanan tadi aku pura-pura tidak mendengar saat ia meminta persetujuan Hanif. Apa aku harus berterus terang jika aku khawatir padanya?

Tiba-tiba, tengah keheningan aku mendengar gemerisik semak dan dedaunan kering terinjak. Kemudian, terdengar suara geraman. Sepasang mata kuning besar menyala, menatap kami, diantara belukar dalam gelap.

“Apa itu?” Bisikku.

“Masuk ke tenda!” desak Rama. Ia dan Hanif secepat kilat meraih kayu dari api unggun dan melesat ke arah suara itu. Mereka mengacungkan obor sambil berteriak-teriak. Aku berlari masuk ke dalam tenda, memeluk Mila yang sedang pulas.

Wajah Rama muncul di ambang tenda, beberapa saat kemudian. “Itu tadi macan. Sekarang sudah pergi.” Kulihat Hanif muncul di belakangnya. Aku menghembuskan napas lega dan melepaskan pelukanku pada Mila yang akhirnya terbangun.

“Tunggu,” Hanif mengedarkan pandangannya pada kami. Keningnya berkerut. Ia beranjak, sejurus kemudian muncul lagi. Suaranya bergetar cemas. “Di mana Sekar?”

***


Simak kelanjutan ceritanya di sekartajiblog.blogspot.com oleh Anastasya Sekartaji (@sekartajirolu) 

Ditulis untuk lomba Menulis Berantai - Love Cycle Gagas Media dari #TimPatahHati